INDOTIMES.ID, JAKARTA – Nama Boy Thohir kembali muncul dalam sorotan terkait dugaan keterlibatannya dalam skandal korupsi yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga. Boy Thohir, yang merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir dan pengusaha tambang batu bara di bawah grup Adaro Energy, disebut-sebut memiliki hubungan dengan kasus tersebut.
Dugaan ini semakin menguat setelah cuitan dari Deputi Strategi dan Kebijakan Balitbang DPP Partai Demokrat, Yan Harahap, yang menyebutkan adanya “tangan” Boy Thohir dalam kasus ini. Melalui akun Twitter-nya @YanHarahap pada 4 Maret 2025, Yan mempertanyakan kebenaran dugaan tersebut, dengan menampilkan sebuah diagram yang memperlihatkan pemetaan kelompok dalam lingkungan Pertamina, termasuk yang diduga terkait dengan Boy dan Erick Thohir.
Diagram yang beredar luas di media sosial tersebut mengungkapkan adanya dugaan jaringan kekuasaan yang mempengaruhi berbagai posisi strategis di Pertamina. Diagram ini menyoroti keterkaitan sejumlah tokoh penting, baik dari dunia bisnis maupun politik, yang diduga memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan pengelolaan bisnis di perusahaan energi milik negara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam bagan tersebut, sejumlah individu yang diduga memiliki peran strategis di berbagai anak perusahaan Pertamina terlihat terlibat. Nama-nama yang muncul dikatakan memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh berpengaruh di pemerintahan dan dunia bisnis, termasuk posisi mulai dari direktur utama hingga eksekutif di berbagai unit bisnis Pertamina, seperti Pertamina Drilling Services, Patra Niaga, serta sektor pengadaan dan infrastruktur.
Dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam skandal korupsi yang sedang diselidiki di PT Pertamina Patra Niaga semakin diperkuat dengan munculnya bagan ini. Beberapa nama yang tercantum dalam diagram juga diduga terlibat dalam proses tender dan pengadaan barang serta jasa di lingkungan Pertamina.
Sebelumnya, politikus PDIP Ferdinand Hutahaean juga menyampaikan kekhawatirannya terkait dugaan mega korupsi di tubuh Pertamina Patra Niaga. Ferdinand mengklaim memiliki diagram alur yang menunjukkan keterlibatan sejumlah pejabat internal Pertamina dalam jaringan mafia migas. Dalam unggahannya pada 3 Maret 2025 di akun Twitter @ferdinand_mpu, Ferdinand menyatakan bahwa kasus ini bukan hanya sekadar pemberantasan korupsi biasa, melainkan bagian dari dinamika kekuasaan di sektor energi.
Menurut Ferdinand, ada upaya untuk menghilangkan kelompok lama demi memberi ruang bagi kelompok baru yang lebih dekat dengan lingkaran kekuasaan. “Intinya ini perang geng mafia,” ujar Ferdinand, yang menilai bahwa langkah pemberantasan ini bertujuan untuk memberi ruang bagi kelompok yang lebih dekat dengan kekuasaan saat ini.
Sebelumnya, Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi PT Pertamina terus menjadi sorotan publik. Dengan kerugian negara yang hampir mencapai Ratusan triliunan rupiah, skandal ini dipandang sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah industri migas Indonesia.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan adanya praktik ‘pengoplosan’ atau blending dalam produksi bahan bakar Pertamax. Temuan ini diperoleh dari alat bukti yang dikumpulkan oleh tim penyidik. Dalam kasus ini, dua tersangka utama yang telah ditetapkan adalah MK, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga, serta EC, VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.
Menanggapi pernyataan PT Pertamina yang sebelumnya menegaskan tidak ada praktik pengoplosan BBM Pertamax, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa hasil penyelidikan Kejagung membuktikan sebaliknya. Meskipun Pertamina mengklaim kualitas Pertamax tetap sesuai dengan standar pemerintah dengan RON 92, Qohar mengungkapkan temuan yang mengejutkan.
“Penyidik menemukan adanya campuran RON 90 (setara Pertalite) atau bahkan RON 88 yang dicampur dengan RON 92. Jadi, ada praktik blending yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan,” jelas Qohar dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 26 Februari 2025.
Selain itu, Kejagung juga mengungkapkan bahwa dua tersangka utama diduga mengetahui dan menyetujui praktik mark-up atau penggelembungan harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF. Akibatnya, Pertamina harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar 13% hingga 15%, yang menurut Qohar merupakan tindakan melawan hukum. Uang yang dikeluarkan tersebut kemudian mengalir kepada tersangka lainnya, yaitu MKAR dan DW.
Lebih lanjut, Kejagung mengungkapkan bahwa praktik pengoplosan minyak mentah RON 92 dilakukan di terminal milik tersangka MKAR. Terminal PT Orbit Terminal Merak, yang dimiliki bersama oleh Kerry dan tersangka GRJ, menjadi lokasi utama dari praktik ilegal ini.